Jakarta (ANTARA) – Sejarah panjang pembentukan dua kerajaan besar di Jawa, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak lepas dari peristiwa penting yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti tahun 1755. Perjanjian ini menandai berakhirnya Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan yang utuh dan berdaulat, serta menjadi tonggak awal pembentukan dua entitas kerajaan yang berdiri hingga kini di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Awal mula konflik Mataram
Kerajaan Mataram Islam pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18 mengalami masa kejayaan dan kemunduran. Berpusat awalnya di Kotagede, kerajaan ini kemudian berpindah ke Kerta, Plered, Kartasura, hingga akhirnya ke Surakarta. Namun, eksistensinya semakin terganggu akibat intervensi kolonial Belanda (VOC), terutama melalui politik adu domba di kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan.
Konflik internal bermula dari pertikaian di antara keturunan Amangkurat IV, yakni Pangeran Prabasuyasa (kemudian bergelar Pakubuwana II), Pangeran Mangkubumi (adik Prabasuyasa), dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa (keponakan mereka). Raden Mas Said menuntut hak atas tahta Mataram karena ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, adalah putra sulung Amangkurat IV yang diasingkan ke Sri Lanka oleh VOC karena sering menentang mereka.
Baca juga: Kemendagri dan Kasunanan Surakarta sepakat soal pengelolaan keraton Solo
Peran VOC dan pecahnya persatuan
Situasi semakin rumit ketika VOC ikut campur tangan dalam suksesi Mataram. Setelah wafatnya Pakubuwana II pada 20 Desember 1749, VOC menunjuk Raden Mas Soerjadi sebagai pengganti dengan gelar Pakubuwana III, meskipun Pangeran Mangkubumi telah memproklamirkan diri sebagai raja. Ini memicu perang saudara antara kubu Pakubuwana III yang didukung VOC melawan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Namun, pada 1752, VOC berhasil memecah belah koalisi dengan memanfaatkan ketegangan antara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Setelah terjadi perselisihan, VOC mendekati Mangkubumi dengan tawaran separuh wilayah Mataram. Hasilnya, pada 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani di Desa Giyanti, Karanganyar, Jawa Tengah.
Isi dan dampak Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti secara resmi membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua:
- Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III, menguasai wilayah di sebelah timur Sungai Opak.
- Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I, menguasai wilayah di sebelah barat Sungai Opak.
Perjanjian ini memuat 10 pasal, antara lain menetapkan kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I secara turun-temurun, kerja sama dengan VOC, hak veto VOC dalam pengangkatan pejabat kerajaan, dan perjanjian ekonomi-politik antara dua kerajaan dan VOC.
Baca juga: Keraton Surakarta menggelar “Wilujengan Nagari Mahesa Lawung”
Kerusuhan pasca Giyanti dan lahirnya mangkunegaran
Perjanjian Giyanti tidak serta-merta menghentikan konflik, karena Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa tidak dilibatkan dalam kesepakatan tersebut. Ia tetap melanjutkan perjuangan hingga akhirnya menandatangani Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757, yang mengakui dirinya sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Ini menambah satu entitas politik baru di tengah konflik warisan Mataram.
Perjanjian Jatisari dan pendirian Kesultanan Yogyakarta
Setelah Perjanjian Giyanti, pertemuan lanjutan antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pakubuwana III berlangsung di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Pertemuan ini membahas fondasi budaya masing-masing kerajaan. Sultan Hamengkubuwana I memilih melanjutkan tradisi Mataram, sementara Pakubuwana III mengembangkan budaya baru.
Kemudian, pada 13 Maret 1755, secara resmi dikumandangkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai pada 9 Oktober 1755 dan rampung hampir setahun kemudian. Sultan beserta keluarga memasuki keraton pada 7 Oktober 1756, menandai dimulainya era baru bagi Kesultanan Yogyakarta.
Monumen Giyanti sebagai pengingat sejarah
Sebagai bentuk penghargaan atas peristiwa penting ini, didirikan Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah. Monumen ini berupa prasasti batu dan pohon beringin yang melambangkan tonggak sejarah perpecahan Mataram dan kelahiran dua kerajaan besar di Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.
Baca juga: Mengenal tradisi malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.