Jakarta (ANTARA) – Memiliki arti secara harfiah sebagai “taman yang indah”, Tamansari merupakan kompleks situs bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai taman kerajaan atau pesanggrahan bagi keluarga Keraton Yogyakarta. Terletak sekitar 0,5 kilometer di selatan kompleks Keraton Kasultanan Yogyakarta, Tamansari bukan hanya menyimpan nilai sejarah, namun juga kekayaan budaya, filosofi, dan arsitektur yang unik.
Pembangunan Tamansari dimulai pada tahun 1758 Masehi di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang juga merupakan pendiri Keraton Yogyakarta. Hal ini ditandai dengan candra sengkala “Catur Naga Rasa Tunggal” yang menunjuk tahun 1684 Jawa. Sengkalan ini bermakna “empat naga satu rasa” dan dapat ditemukan di Gapura Panggung. Pembangunan utama diselesaikan pada 1765 M dengan sengkalan “Lajering Sekar Sinesep Peksi” atau “kuntum bunga dihisap burung”, yang terukir di Gapura Agung dan ornamen bangunan lainnya.
Secara administratif, Tamansari berada di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, dan kini dikembangkan sebagai kampung wisata. Kawasan ini sangat strategis karena terletak di dalam lingkungan Keraton dan menjadi penyangga langsung kawasan wisata budaya Kraton Yogyakarta.
Baca juga: Sejarah Candi Kalasan, salah satu peninggalan tertua di Yogyakarta
Menurut catatan dari Kraton dan Balai Pelestarian Cagar Budaya, kawasan Tamansari dahulu merupakan danau buatan (segara anakan) yang dilengkapi kanal dan parit air yang terhubung langsung dengan Keraton. Sultan Hamengkubuwono I memimpin langsung pembangunan kompleks ini dengan bantuan Bupati Madiun Raden Rangga Prawirasentika sebagai penanggung jawab proyek dan Tumenggung Mangundipuro sebagai arsitek utama, dibantu oleh seorang arsitek Portugis yang dikenal dengan nama Demang Tegis.
Fungsi utama Tamansari tidak hanya sebagai tempat peristirahatan dan hiburan, melainkan juga sebagai tempat perlindungan ketika krisis atau serangan. Fasilitas seperti jalan bawah tanah dan kanal air memungkinkan keluarga kerajaan melarikan diri sekaligus menjebak musuh dengan mengaliri air ke jalur tersebut.
Tamansari memiliki lebih dari 10 hektare luas area dengan sekitar 57 bangunan, termasuk kolam pemandian, gedung-gedung berarsitektur campuran Jawa, Eropa, Hindu, dan China, jembatan gantung, kanal air, lorong bawah tanah, dan danau buatan.
Arsitektur Tamansari mencerminkan sinergi antara nilai estetika dan makna spiritual. Contohnya, Sumur Gumuling—bangunan berbentuk melingkar yang dulunya digunakan untuk ibadah dan meditasi—menggambarkan dualitas antara kesenangan duniawi dan ketakwaan kepada Tuhan.
Baca juga: PHRI DIY kebut promosi paket wisata sambut libur sekolah
Salah satu bagian yang terkenal adalah Pulau Kenanga, dinamai dari pohon kenanga yang tumbuh di halamannya. Pulau ini menjadi simbol keharuman dan keindahan, serta diyakini sebagai lokasi tempat Sultan memilih selir. Cerita-cerita mitos juga mengiringi keberadaan Tamansari, seperti hubungan spiritual antara Sultan dan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul, yang konon terjadi di Masjid Sumur Gumuling.
Kini, Tamansari menjadi salah satu destinasi unggulan wisata budaya di Yogyakarta. Selain menjelajahi situs-situs kuno dan lorong-lorong bersejarah, wisatawan juga dapat menyusuri kampung seni, galeri batik, serta menyewa kostum keraton untuk merasakan pengalaman seperti bangsawan masa lampau.
Bangunan-bangunan bersejarah yang telah direstorasi, seperti jalan bawah tanah dan beberapa benteng penghubung dengan kawasan Krapyak, masih menunjukkan keanggunan arsitektur masa lalu.
Tamansari tidak hanya menawarkan keindahan visual, tetapi juga pelajaran sejarah dan filosofi Jawa yang mendalam. Ia menjadi pengingat akan kejayaan masa lalu Keraton Yogyakarta dan komitmen masyarakat untuk terus melestarikan warisan budaya leluhur.
Baca juga: Harga tiket masuk Keraton Yogyakarta 2025: Info terbaru dan jam buka
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.