Gaya Hidup

Kayu jati dalam arsitektur Jawa: Sejarah, filosofi, dan klasifikasi

×

Kayu jati dalam arsitektur Jawa: Sejarah, filosofi, dan klasifikasi

Sebarkan artikel ini



Jakarta (ANTARA) – Kayu jati (Tectona grandis) telah menjadi elemen penting dalam perkembangan arsitektur tradisional Jawa sejak berabad-abad lalu. Keberadaannya tidak hanya menjadi bahan utama pembangunan rumah dan bangunan adat, tetapi juga mengandung nilai filosofis dan simbolis yang sangat kuat dalam pandangan masyarakat Jawa.

Dalam naskah-naskah kuno kelompok Kawruh Kalang dan Kawruh Griya (Prijotomo, 2006), kayu jati disebut sebagai material utama untuk membangun rumah berarsitektur Jawa. Kekuatan, keawetan, serta nilai spiritual dari pohon jati menjadikannya sebagai pilihan utama, baik untuk keperluan struktural maupun simbolik dalam pembangunan rumah tradisional, masjid, pendopo, serta bangunan keraton.

Klasifikasi kayu jati berdasarkan mutu

Masyarakat Jawa memiliki pengetahuan mendalam dalam mengklasifikasikan jenis kayu jati. Secara umum, kayu jati dibagi menjadi tiga macam, yaitu jati bang yang berminyak dan tahan lama, jati sungu atau jati kembang yang memiliki alur serat jelas berwarna gelap, serta jati kapur yang kualitasnya dianggap rendah karena seratnya kasar dan tidak awet.

Di luar klasifikasi tersebut, dikenal pula jenis-jenis jati seperti jati lengo (berminyak), jati sungu (berwarna hitam pekat), jati werut (berombak), dan jati doreng (berloreng dan indah). Pengetahuan lokal semacam ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa telah lama mengembangkan klasifikasi mutu kayu secara turun-temurun berdasarkan pengalaman.

Baca juga: Produk furnitur kayu jati Indonesia diminati di Inggris

Nilai spiritual pohon jati

Dalam kepercayaan Jawa, pohon jati diyakini memiliki angsar atau daya pengaruh yang bisa berdampak baik maupun buruk. Pohon dengan angsar baik diyakini dapat mendatangkan rezeki dan keselamatan, sementara pohon dengan angsar buruk dianggap bisa membawa kemalangan. Oleh karena itu, pemilihan pohon jati untuk bahan bangunan tidak hanya memperhatikan kualitas fisik, tetapi juga nilai spiritual dan keberuntungannya.

Pengetahuan ini juga tercatat dalam naskah Serat Centhini (1814–1824) yang disusun oleh pujangga Keraton Kasunanan Surakarta. Naskah tersebut menyebutkan bahwa jenis pohon jati yang bercabang tiga disebut trajumas, dipercaya membawa keberuntungan dan sering digunakan untuk bagian belakang rumah seperti pengeret dan blandar. Sementara pohon bercabang lima disebut pendhawa, melambangkan kekuatan dan sering digunakan sebagai kerangka utama pendopo.

Sejarah dan perkembangan pemanfaatan

Sejarah mencatat bahwa jati telah dikenal masyarakat Jawa sejak abad ke-2 Masehi. Menurut Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, jati diperkenalkan oleh pedagang India dari Gujarat ke Pulau Jawa. Saat itu, pohon jati dianggap suci oleh raja-raja dan ditanam di sekitar candi untuk menghormati Dewa Shiwa.

Kemudian, pada masa Kerajaan Majapahit, kayu jati telah dimanfaatkan dalam industri perkapalan sebagai bahan utama pembangunan armada laut. Penguatan armada ini dilakukan karena keterbatasan transportasi darat saat itu. Kayu jati digunakan untuk membangun kapal perang dan kapal dagang kerajaan.

Pada era kolonial, khususnya sejak kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-16, pemanfaatan kayu jati dari Jawa semakin luas. VOC mengeksploitasi hutan jati untuk kebutuhan pembangunan galangan kapal, gudang, serta sebagai komoditas perdagangan internasional. Istilah Java teak pun muncul sebagai penanda mutu tinggi kayu jati asal Jawa yang sangat diminati di pasar global.

Baca juga: Alat dapur kayu jati di Bali alami peningkatan pemesanan

Peran dalam arsitektur tradisional Jawa

Kayu jati memegang peranan sentral dalam arsitektur rumah adat Jawa. Rumah tradisional yang terbuat dari kayu jati tidak sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol kebijaksanaan, kekuatan, dan keabadian. Jati digunakan untuk struktur utama seperti tiang penyangga, kerangka pintu, molo, hingga pagar-pagar tradisional seperti pencak suji dan grogol.

Praktik pembangunan rumah dengan bahan kayu jati diperkirakan telah dikenal sejak sebelum abad ke-8 Masehi, berdasarkan kesamaan teknik penyusunan rumah dengan teknik pembuatan candi. Hal ini diperkuat oleh adanya “departemen” perumahan pada masa Prabu Wijayaka yang melibatkan para ahli seperti bupati kalang blandong (penebang kayu), kalang obong (pembersih hutan), kalang adeg (perencana bangunan), dan kalang abreg (peroboh bangunan).

Simbol dan makna filosofis

Dalam kebudayaan Jawa, bahan bangunan bukan hanya soal fungsi, tetapi juga sarat makna simbolik. Kayu jati yang keras dan tahan lama melambangkan keteguhan dan kestabilan hidup. Penggunaan bambu atau batu alam pun melengkapi filosofi rumah sebagai tempat berteduh secara lahir dan batin.

Bagi orang Jawa, rumah ideal adalah tempat yang “meneduhi” seperti pohon, yang bisa memberikan rasa aman, keteduhan, serta kedamaian. Makna tersebut mengacu pula pada filosofi jati sebagai pohon yang mengayomi dan menghidupi.

Kayu jati tidak hanya menjadi material bangunan semata, melainkan juga warisan budaya dan pengetahuan masyarakat Jawa yang kaya. Dari masa ke masa, jati tidak kehilangan pamornya dalam dunia arsitektur karena sifatnya yang kuat, bernilai tinggi, serta mengandung filosofi kehidupan. Maka tak heran, hingga kini, kayu jati tetap menjadi kebanggaan dan simbol kejayaan peradaban arsitektur tradisional Jawa.

Baca juga: 10 Jenis kayu yang bagus untuk furniture

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

liburan ke jepang bang opang ini pun terwujud berkat hujan wild mahjong waysberhasil untung 100juta dari mahjong wins mas anto semakin yakin pakai tombol gacorslot gacor