Jakarta (ANTARA) – Istilah brain rot atau “pembusukan otak” tengah menjadi sorotan publik, terutama di kalangan pengguna media sosial. Fenomena ini merujuk pada penurunan fungsi otak yang disebabkan oleh paparan konten digital berkualitas rendah secara terus-menerus. Bahkan, Oxford University Press menetapkan “Brain Rot” sebagai Word of the Year 2024, menandakan meningkatnya kesadaran akan dampak buruk dari konsumsi digital yang tidak sehat.
Apa itu brain rot?
Menurut definisi Oxford, brain rot menggambarkan kondisi melemahnya kemampuan berpikir akibat terlalu sering menonton konten daring yang dangkal dan tidak substansial. Hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa tidak bersemangat, kehilangan fokus, serta mengalami kesulitan dalam berpikir kritis dan menyerap informasi.
Meski istilah ini kembali populer belakangan, jejak historisnya sudah ada sejak abad ke-19. Dalam tulisannya tahun 1854, Henry David Thoreau mengkritik budaya konsumsi informasi yang tidak berbobot sebagai pertanda menurunnya kualitas mental dan intelektual seseorang. Kini, kritik tersebut terasa semakin relevan di tengah gempuran konten instan yang mendominasi internet.
Baca juga: Apa itu brain rot? Fenomena pembusukan otak akibat konten digital
Dampak brain rot terhadap kesehatan mental
Para psikolog menyebut bahwa paparan berlebihan terhadap konten ringan seperti video prank, tantangan ekstrem, hingga video pendek yang hanya berfokus pada hiburan sensasional, dapat memberikan dampak negatif terhadap fungsi kognitif. Beberapa di antaranya meliputi:
- Menurunnya daya ingat
- Kehilangan fokus dan konsentrasi
- Penurunan kemampuan analisis dan pemecahan masalah
- Tidak berkembangnya pemikiran kritis dan kompleks
- Ketergantungan terhadap validasi sosial melalui media digital
Jika tidak segera diatasi, kondisi ini dapat berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih serius seperti kecemasan, stres berkepanjangan, hingga depresi.
Gejala brain rot yang perlu diwaspadai
Fenomena brain rot dapat menyerang siapa saja, termasuk anak-anak dan remaja yang intens mengakses internet. Berikut beberapa gejala yang menjadi tanda seseorang mungkin mengalami brain rot:
- Lebih memilih scrolling media sosial dibanding berinteraksi dengan orang di sekitar
- Kesulitan melepaskan diri dari gadget, bahkan saat sedang bekerja
- Terlalu sering memeriksa notifikasi ponsel
- Kerap menerima informasi yang tidak penting secara berlebihan
- Gangguan tidur (insomnia)
- Mata lelah atau sakit kepala setelah menggunakan perangkat digital.
Baca juga: Apakah brain rot bisa diatasi? Ini cara bijak konsumsi konten digital
Mengapa media sosial menjadi pemicu?
Bak selempeng koin, media sosial memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia memberi akses cepat terhadap informasi dan edukasi. Namun di sisi lain, ketika digunakan tanpa kontrol, media sosial menjadi sumber distraksi yang memicu ketergantungan dan overload informasi. Konten-konten hiburan instan menciptakan pola pikir konsumtif tanpa memberikan tantangan bagi otak untuk berpikir secara mendalam.
Cara mencegah dan nengatasi brain rot
Untuk mengurangi risiko terkena brain rot, masyarakat dianjurkan menerapkan beberapa langkah berikut:
1. Terapkan screen time
Bagi orang dewasa, screen time di luar jam kerja sebaiknya dibatasi maksimal dua jam per hari. Anak-anak berusia 2–5 tahun disarankan hanya menatap layar 1–2 jam per hari, sementara anak di bawah 2 tahun sebaiknya tidak terpapar layar sama sekali.
2. Hindari bermain gadget menjelang tidur
Menggunakan gadget sebelum tidur terbukti mengganggu kualitas istirahat. Sebaiknya, singkirkan perangkat elektronik setidaknya satu jam sebelum tidur.
3. Batasi aplikasi digital
Hindari memasang terlalu banyak aplikasi media sosial di ponsel untuk mengurangi potensi overexposure terhadap konten digital yang kurang bermutu.
4. Perbanyak aktivitas fisik
Kegiatan seperti olahraga, memasak, berkebun, atau bahkan menyulam dapat membantu menjaga kesehatan mental dan mengalihkan perhatian dari konsumsi digital berlebih.
5. Bersosialisasi di dunia nyata
Interaksi langsung dengan keluarga dan teman menjadi alternatif efektif untuk mengurangi stres. Aktivitas seperti mengobrol, berjalan-jalan, atau sekadar bersantai bersama orang terdekat dapat membantu menjaga kesehatan psikologis.
Internet tidak selamanya buruk
Meskipun brain rot menjadi isu yang mengkhawatirkan, bukan berarti internet harus dijauhi sepenuhnya. Kehadiran internet tetap memiliki manfaat besar dalam kehidupan modern, termasuk dalam dunia kerja, pendidikan, dan hiburan. Namun, kunci utamanya adalah penggunaan secara bijak, sadar, dan terukur.
Melalui pemahamam tentang dampak serta cara mencegah brain rot, masyarakat diharapkan dapat lebih selektif dalam mengakses konten digital dan menjaga kesehatan otak dari pengaruh negatif dunia maya.
Baca juga: Menjelajahi fenomena “Brain Rot” di era digital
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025