Jakarta (ANTARA) – Virus Hanta (hantavirus) merupakan kelompok virus yang tergolong zoonosis, artinya ditularkan dari hewan ke manusia. Penularan umumnya terjadi melalui rodensia seperti tikus dan mencit yang membawa virus dalam air liur, urine, atau kotorannya.
Di Indonesia, infeksi virus Hanta dikenal dapat menyebabkan sindrom Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS), yaitu kondisi serius yang memicu demam berdarah serta gangguan pada fungsi ginjal. Penyakit ini memerlukan penanganan medis segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Penyebab dan reservoir
Reservoir utama hantavirus di Indonesia mencakup berbagai jenis tikus, seperti tikus got (Rattus norvegicus), mencit rumah, dan tikus ladang. Hewan-hewan ini menjadi sumber utama penyebaran virus di lingkungan sekitar manusia.
Virus ini hidup secara persisten dalam tubuh tikus tanpa menimbulkan gejala pada hewannya. Namun, virus tersebut dapat menular ke manusia melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan air liur, urine, atau kotoran tikus yang terinfeksi.
Baca juga: COVID-19 naik lagi, berikut 8 cara mencegah penularannya
Mekanisme penularan
Penularan terjadi ketika manusia menghirup partikel virus yang berasal dari urine, tinja, atau air liur tikus yang terinfeksi. Partikel ini dapat mengendap di debu dan tersebar melalui udara, sehingga masuk ke dalam tubuh manusia tanpa disadari.
Virus dapat masuk melalui saluran napas, luka terbuka di kulit, atau melalui kontak langsung dengan ekskresi hewan. Meskipun jarang, gigitan tikus juga dapat menjadi jalur penularan. Hingga saat ini, belum ditemukan bukti penularan antar manusia di Indonesia.
Gejala klinis
Infeksi hantavirus terbagi dalam dua sindrom utama:
HFRS (Ginjal & Demam Berdarah)
• Inkubasi: 1–2 minggu (dapat sampai 8 minggu).
• Gejala awal: demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, dan kulit kuning (jaundice) .
• Gejala lanjut: gangguan fungsi ginjal seperti penurunan produksi urin dan tekanan darah rendah.
HPS (Paru-paru/Cariopulmonal)
• Lebih umum di Amerika, namun gejala mirip flu: demam, nyeri otot, mual, muntah, diare.
• Pada 4–10 hari berikutnya, muncul batuk, sesak napas, dan cairan di paru hingga gagal napas.
Baca juga: Virus flu burung: penyebab, gejala, dan cara mengatasinya
Tingkat kematian
• HPS: sekitar 38 persen.
• HFRS (Hantaan virus): tingkat fatalitas sampai 6 persen.
Kasus terkini di Indonesia
Hingga Juli 2025, Kementerian Kesehatan mencatat delapan kasus HFRS yang tersebar di empat provinsi, yakni DI Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Kasus-kasus tersebut masih dalam pemantauan, dengan upaya pelacakan kontak dan edukasi masyarakat terus dilakukan.
Satu pasien asal Bandung Barat dilaporkan telah sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa. Kemenkes menegaskan bahwa belum ditemukan status Kejadian Luar Biasa (KLB), karena jumlah kasus belum mencapai ambang batas dua kasus dalam satu periode inkubasi.
Diagnosis
Proses diagnosis meliputi:
• Pemeriksaan riwayat paparan dan gejala klinis.
• Tes darah dan serologi untuk mendeteksi antibodi virus; atau tes PCR untuk mendeteksi RNA hantavirus.
• Pencitraan (X‑ray/CT) dada untuk melihat kondisi paru pada kasus HPS.
Pengobatan dan penanganan Hantavirus
• Belum ada antivirus atau vaksin khusus
Hingga saat ini, belum tersedia antivirus maupun vaksin global yang secara khusus ditujukan untuk HPS (Hantavirus Pulmonary Syndrome) dan HFRS (Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome).
• Perawatan suportif intensif meliputi:
– Pemberian oksigen tambahan atau ventilator bagi pasien HPS yang mengalami gangguan pernapasan.
– Cairan intravena dan obat penopang tekanan darah bagi penderita HFRS untuk menjaga kestabilan kondisi tubuh.
– Dialisis (cuci darah) jika terjadi gagal ginjal akibat komplikasi HFRS.
– Teknik lanjutan seperti ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation) dapat digunakan dalam kasus HPS berat yang tidak merespons penanganan konvensional.
• Penggunaan ribavirin
Ribavirin pernah dicoba untuk mengobati HFRS. Namun, efektivitasnya secara keseluruhan masih terbatas dan belum diakui sebagai standar pengobatan internasional.
Baca juga: Kemenkes: 8 kasus virus Hanta per 19 Juni, semuanya sudah sembuh
Pencegahan dan imbauan
1. Kontrol tikus: tutup celah akses, pakai jebakan atau rodentisida secara aman.
2. Kebersihan lingkungan: rapikan tempat penyimpanan makanan, sampah, dan debu; simpan makanan dalam wadah tertutup.
3. Proteksi pribadi: gunakan masker, sarung tangan, dan baju pelindung saat membersihkan area bekas tikus.
4. Ventilasi sebelum memasuki ruangan tertutup yang lama tidak dibuka.
5. Edukasi masyarakat: waspadai aktivitas yang berpotensi tinggi paparan tikus termasuk di perkotaan maupun pedesaan.
Dengan demikian, virus Hanta merupakan ancaman serius meskipun kasusnya tergolong jarang. Gejala awalnya mirip flu, namun dapat dengan cepat berkembang menjadi sindrom paru berat atau gagal ginjal. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan intensif sangat penting untuk mencegah komplikasi yang membahayakan jiwa.
Hingga kini, belum ditemukan vaksin maupun obat yang secara spesifik dapat mengatasi infeksi virus Hanta. Pencegahan menjadi langkah utama, yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan, melindungi diri dari paparan tikus, serta segera mengakses layanan medis apabila mengalami gejala setelah berada di area berisiko.
Baca juga: Kini giliran virus hanta di China yang menelan korban jiwa
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.